Ia tinggal di sebuah apartemen sederhana di pinggir kota, jauh dari hiruk-pikuk masyarakat. Kehidupan Alaric adalah rutinitas yang terukur: pagi hari ia berlari di taman yang sepi, siang ia bekerja sebagai analis data, dan malam ia menghabiskan waktu membaca buku filsafat atau memperbaiki motor tuanya. Tidak ada hubungan sosial, tidak ada pertemanan, dan ia menyukainya seperti itu.
Orang-orang yang berusaha mendekatinya sering menyerah. Sikapnya yang dingin dan pandangannya yang tajam membuat siapa pun berpikir dua kali untuk berbicara dengannya. Di kantor, ia dikenal sebagai "serigala penyendiri". Tidak ada yang tahu bahwa di balik ketenangannya, ia menyimpan pemahaman mendalam tentang dunia dan manusia di sekitarnya.
Namun, hidup Alaric berubah ketika seorang wanita bernama Elena mulai bekerja di kantornya. Elena adalah kebalikan dari Alaric: ceria, ramah, dan selalu ingin tahu. Ia merasa tertarik pada Alaric bukan karena wajah tampannya, tetapi karena misteri yang menyelimutinya.
“Elena, dia bukan tipe orang yang bisa kau ajak bicara begitu saja,” kata seorang rekan kerja.
“Bagaimana aku tahu kalau aku tidak mencoba?” jawab Elena dengan senyuman penuh percaya diri.
Suatu sore, Elena mendekati Alaric di kantornya.
“Kau suka kopi hitam atau teh?” tanya Elena tanpa basa-basi.
Alaric mengangkat alis, terkejut dengan keberanian Elena. “Kopi,” jawabnya singkat.
“Elena,” kata Elena sambil mengulurkan tangan.
Alaric hanya menatap tangan itu selama beberapa detik sebelum menjabatnya dengan cepat, seperti ritual yang ingin ia akhiri secepat mungkin.
Meskipun sikapnya tetap dingin, Elena tidak menyerah. Hari demi hari, ia mencoba memecahkan tembok yang mengelilingi Alaric. Ia mengajaknya berdiskusi tentang buku, musik, dan bahkan filosofi topik yang jarang diminati orang lain. Perlahan, Alaric mulai membuka diri. Tidak dengan banyak kata, tetapi dengan kehadirannya yang semakin sering di sekitar Elena.
Suatu malam, Elena bertanya, “Kenapa kau selalu menyendiri?”
Alaric memandang ke luar jendela, mengamati lampu kota yang berkelap-kelip. “Kehidupan sosial itu seperti perangkap. Terlalu banyak energi yang terbuang untuk hal-hal yang tidak penting.”
“Tapi kau tidak bisa menghabiskan hidup seperti ini,” balas Elena.
“Mungkin tidak bagi orang lain. Tapi bagi saya, ini cukup.”
Namun, di balik sikap dinginnya, Alaric tahu bahwa Elena telah membuat celah kecil di dinding yang selama ini ia bangun. Kehadirannya seperti cahaya yang tidak ia sadari ia butuhkan.
Ketika Elena mengundurkan diri beberapa bulan kemudian karena pekerjaan baru, Alaric mendapati dirinya berdiri di tepi kantor, memandang kepergiannya. Ia tidak mengucapkan selamat tinggal, tetapi di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang ia coba abaikan selama bertahun-tahun: rasa kehilangan.
Di momen itu, Alaric menyadari bahwa meski ia tidak membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup, ia juga tidak kebal terhadap hubungan manusia. Dan mungkin, hanya mungkin, ia bisa belajar hidup tanpa harus sepenuhnya menyendiri.